Hamim, Martapura 2025 - Setiap tahun, Hari Sarjana menjadi salah satu momen penting untuk merefleksikan perjalanan pendidikan tinggi di Indonesia. Perayaan ini bukan sekadar seremoni akademik, tetapi juga sebuah kesempatan untuk menimbang kembali peran, tanggung jawab, serta kontribusi seorang sarjana di tengah kehidupan bermasyarakat. Gelar akademik yang disandang setelah melewati perjalanan panjang di bangku kuliah bukanlah akhir, melainkan pintu awal untuk memasuki dunia pengabdian yang lebih luas.
Hari Sarjana menegaskan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dari selembar ijazah atau toga yang dikenakan. Sarjana sejati adalah mereka yang mampu mengimplementasikan ilmu, membagikan pengetahuan, dan memberi manfaat bagi lingkungannya. Seperti yang dikemukakan oleh pakar pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, “Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.” Kutipan ini mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan akan memiliki makna hanya jika dipraktikkan untuk kepentingan orang banyak.
Hal ini juga sejalan dengan pesan Rasulullah SAW yang bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Hadis ini menegaskan bahwa gelar dan ilmu yang dimiliki seorang sarjana akan bernilai ketika dapat memberi manfaat nyata, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas.
Momentum ini juga mengingatkan bahwa pendidikan tinggi tidak boleh berhenti hanya pada proses transfer ilmu. Lebih jauh, pendidikan harus mendorong pembentukan karakter dan sikap kepemimpinan. Sarjana diharapkan hadir sebagai agen perubahan yang mampu memberi solusi atas permasalahan nyata di lapangan, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural, peran sarjana semakin strategis untuk menjaga persatuan sekaligus mengembangkan inovasi sesuai tuntutan zaman.
Di era digital seperti sekarang, tantangan dunia kerja kian beragam. Tidak semua sarjana langsung menemukan jalan mulus menuju profesi yang sesuai dengan bidang studinya. Namun, di sinilah nilai seorang sarjana diuji: sejauh mana ia mampu memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki untuk tetap relevan. Keterampilan berpikir kritis, kemampuan komunikasi, dan semangat kolaborasi menjadi bekal penting yang harus ditanamkan sejak masa kuliah. Hari Sarjana karenanya menjadi titik refleksi bahwa pendidikan tidak hanya untuk mengejar pekerjaan, tetapi untuk membangun kebermanfaatan yang lebih luas.
Selain itu, peringatan ini juga memberi pesan moral bagi masyarakat bahwa mencetak sarjana bukan semata tanggung jawab perguruan tinggi, melainkan sebuah kerja kolektif. Lingkungan keluarga, komunitas, dan negara memiliki peran penting dalam mendukung sarjana agar tetap teguh menjalankan peran sosialnya. Gelar akademik tidak boleh dipandang sebagai simbol elitis, melainkan amanah untuk terus belajar, mendidik, dan mengabdi.
Bagi Fakultas Tarbiyah, peringatan Hari Sarjana memiliki makna yang sangat signifikan. Sebagai fakultas yang fokus pada bidang pendidikan dan pembinaan generasi muda, Hari Sarjana menjadi pengingat akan tanggung jawab mencetak calon pendidik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial. Lulusan Fakultas Tarbiyah diharapkan dapat membawa dampak nyata dalam pengembangan literasi, pembentukan akhlak, serta penanaman nilai-nilai kebangsaan di tengah masyarakat. Dengan demikian, Hari Sarjana tidak hanya menjadi perayaan akademik, tetapi juga momentum memperkuat komitmen Fakultas Tarbiyah untuk melahirkan sarjana yang berdaya guna, berkarakter, dan siap menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara.