TERPELAJAR SEBELUM MENGAJAR: UJIAN KOMPREHENSIF SEBAGAI REFLEKSI BAGI PARA CALON GURU

0

Al-Ghozi, Banjarbaru 2024 - Para mahasiswa Fakultas Tarbiyah telah menghadapi ujian komprehensif yang mana ujian tersebut tentunya sangat berdampak terhadap kemampuan dirinya terutama kompetensi mahasiswa pada aspek Keislaman maupun Pedagogik. 

Penamaan komprehensif itu sendiri adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu “comprehensive” yang memiliki arti menyeluruh, luas, teliti dan meliputi banyak hal. Sehingga para mahasiswa dapat mendetailkan kembali pengetahuannya sendiri pada ujian tersebut. 

Sebelum mendapatkan penilaian dari dosen yang menguji, tentunya mereka dapat menilai dirinya sendiri pada saat materi ujian komprehensif dibagikan. 

Sampai mana dan apa saja yang telah ia pelajari selama empat tahun berkuliah? Apakah mereka melewatkan begitu saja? atau sekedar mengambil beberapa? serta apakah mereka memanfaatkan semua waktu mereka? 

Maka dengan itu, mereka akan sadar atas kompetensi yang seharusnya mereka miliki untuk menjadi seorang guru. Sehingga mereka juga tidak menyepelekan profesi guru yang suatu saat mereka jalankan. 

Suasana Ujian Komprehensif

Guru yang bisa mengajar sangat banyak, akan tetapi tidak banyak guru yang memahami bagaimana konsep paradigma pendidikan modern dengan gaya berpikir rasionalisme, empirisme, positivisme dan saintisme 

yang mana kesemuanya itu bertujuan untuk mengidentifikasi pandangan terhadap proses pembelajaran yang profesional. Begitu juga guru yang dapat mengatur ritme pengajaran dengan teori-teori pendidikan modern seperti humanisme, behaviorisme, kognitivisme dan sibernetik agar peserta didik memperoleh sebenar-benarnya pengetahuan. semoga tidak terjadi di mahasiswa kita Fakulta Tarbiyah.

Bahkan sangat sedikit guru yang benar-benar mengerti cara mengadopsi aliran-aliran pendidikan Islam seperti aliran agamis konservatif yang digaungkan oleh Imam Ghazali, at-Thusi dan al-Haitami atau aliran religius rasional yang dianut oleh al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih dan aliran yang lain. 

Termasuk dari yang sedikit itu juga guru yang mahir dalam menganalisis tipologi pemikiran Islam dalam memahami hidangan jawaban persoalan-persoalan pelik yang terdapat pada materi ajar. 

Hal mendasar tersebut sangat mempengaruhi pada peningkatan kualitas unsur-unsur pendidikan, salah satunya dirinya sendiri yang berperan sebagai orang yang membimbing (Pendidik). Subjek yang dibimbing (Peserta Didik) dengan adanya interaksi oleh guru yang menghimpun isme-isme tersebut mendapatkan rambu-rambu yang jelas untuk mengetahui arah pembelajaran dan merasakan atmosfer yang menarik pada saat dimanapun pembelajaran berlangsung.

Terlebih lagi dalam membedakan antara teori pembelajaran dengan teori belajar yang dikenal dengan teori preskriptif dan teori deskriptif sebagai penentu dalam membenahi tujuan utama pengajaran, apakah tujuan utamanya pada penjelasan proses belajar atau pada penetapan metode pembelajarannya. Ditambah mahir dalam merealisasikan teori-teori belajar seperti behavioristik, kognitivistik, humanistik, konstruktivisme guna memfasilitasi hubungan antara guru dan murid dengan berbagai macam strategi yang disesuaikan dengan gaya belajar, latar belakang dan hambatan pada siswa. 

Begitu juga guru yang dapat mengembangkan pendidikan sendiri banyak, tetapi guru yang dapat menilik dengan seksama perkembangan murid sangat sedikit. 

Belum lagi membereskan konflik masa lalu dan konflik masa depan masing-masing murid yang berpengaruh terhadap pembelajaran. Kabut konflik itu hanya bisa diterawang dan diperjelas perlahan menggunakan teori psikodinamik, kognitif, behavior dan belajar sosial. 

Dari sana guru menemukan simpul yang berkaitan dalam struktur jasmani dan biologisnya serta perilaku dan mental pada berbagai macam fase dari sejak masa prenatal, masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa hingga masa lansia (lanjut usia). 

Setelah tercapainya penguasaan dari berbagai macam aspek keilmuan dan kompetensi yang seharusnya memang telah menyatu dengan diri mereka, apapun kurikulum yang diberikan dan diperbarui maka tidak menjadikan sebuah hambatan dan fasih pikirannya dalam menerjemah kurikulum yang diselenggarakan. 

Tidak bermaksud mencampurkan kepada politik tetapi penulis menyetujui apa yang dikatakan Anies Rasyid Baswedan tentang kurikulum “Kurikulum berubah, tidak otomatis kualitas pendidikan meningkat. Namun, jika kualitas guru meningkat, kualitas pendidikan pasti meningkat, itu kuncinya.” 


Maka, secara otomatis tujuan pendidikan Islam dan tujuan negara dalam bidang pendidikan akan tercapai dengan sendirinya. Apa pun materinya khususnya teman-teman penulis yang berada di prodi PAI, mau itu mata pelajaran PAI di SMP/SMA, Al-Qur’an dan Hadits di MTs/MA, Akidah Akhlak di MTs/MA, Fiqih di MTs/MA dan SKI di MTs/MA akan mudah dihamparkan kepada setiap pikiran para murid. 

Para Mahasiswa Sedang Menunggu Giliran Ujian Komprehensif

Selain kompetensi yang telah disingkapkan secara gamblang di atas, tentu seharusnya mereka, para calon guru yang berlabelkan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam Martapura, juga tidak melewatkan kekentalannya terhadap keilmuan Islam seperti pemahamannya tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah An-Nahdiyah dari bagaimana keadaan situasi politik pada saat masa Khulafaur Rasyidin sehingga memberikan impact atau dampak yang besar terhadap corak paham keagamaan, yang dikenal dengan sekte-sekte dalam Islam seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyah dan Jabariyah serta cabang-cabang sekte yang muncul darinya. 

Pada saat mereka mengetahui dasar-dasar sekte-sekte Islam di atas, maka tentunya akan semakin jelas bagaimana ahlus sunnah wal jama’ah atau yang dikenal pengikutnya sebagai Sunni, harus tetap eksis terhadap acuan bagaimana mereka melakukan amaliah-amaliah berdasarkan karakteristik Ahlus Sunnah Wal Jama’ah pada Aqidah, Ibadah maupun Muamalah. 

Jelasnya mereka menisbatkan kepada pemahaman yang dikumandangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, yang menentang sekte-sekte yang menyimpang. 

Begitu juga pada rujukan Fiqih mereka yang bersandarkan kepada madzhab imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang berlainan dengan paham Fiqih Syi’iy, Dzahiri, Ja'fari. 

Mereka juga paham bagaimana bertasawufkan sebagaimana tasawuf Imam Al-Junaidi Al-Bagdadi dan Imam Al-Ghazali At-Thusi. Seorang guru yang lahir dan besar dilingkungang muslim mayoritas seperti bangsa Indonesia.

Sayangnya menurut penulis, masih sangat sedikit guru yang dapat mengarungi teori bagaimana Islam masuk ke negara kepulauan kita ini, yang kemudian menjadi negara yang berdaulat, selanjutnya pada negara tersebut adanya gerakan-gerakan yang berbagai macam sehingga bagaimana guru memahami dan mengetahui sejarah, tokoh, pemahaman dan cita-cita organisasi tersebut seperti Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, Jamaah Islamiyah, Ahmadiyah, Jamaah Ansharut Daulah dan FPI pada pergerakannya di Indonesia untuk menimbang dan memilah kontradiksi yang dapat ditolerir dan yang diingkari bagi negara demokrasi. 

Pada dua organisasi besar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, seorang guru mestinya memahami betul bagaimana perbedaan serta persamaannya dari manhaj, fikrah dan harakah antara dua organisasi tersebut, karena pergerakan kedua organisasi tersebut sangat sering mereka temui pada daerah-daerah yang nantinya jadi tempat mereka mengajar, 

Akhirnya, guru paham betul apa dan bagaimana cara menghargai terhadap budaya lokal setempat selama tidak bertentangan dengan dalil syara’

Setelah hal-hal mendasar mereka pahami barulah mereka memperkuat keilmuan mereka dari fan-fan ilmu yang dikatakan sebagai fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, sangat diutamakan lagi tentunya sebagai pengajar yang bercirikan keagamaan dalam pendidikan dan pembelajarannya. 

Diawali dengan dapat membaca, menulis dan hafal beberapa ayat-ayat dan hadits yang berkaitan dengan pendidikan sebagai pedoman mereka. Barulah mereka memahami sebelum memahamkan kepada peserta didik kepada bidang yang mereka jalani selama empat tahun tersebut yaitu pada pemahaman keilmuan Al-Qur’an dan Hadits, Akidah dan Akhlak, Fiqih dan Sejarah Kebudayaan Islam. 

Kematangan kompetensi yang diulas di atas adalah bantahan atas perspektif bahwa guru hanyalah bukan sekedar mengajar 

mengajar berarti mendidik yaitu menyampaikan materi ajar dengan persiapan dan ancang-ancang yang matang. Jika mayoritas mahasiswa tidak tahu menahu bahkan menyepelekan paham, prinsip, dan ide yang mesti erat dengan mereka, maka profesi guru adalah hidangan terakhir yang ingin mereka cicipi, penting tetapi remeh. 

Langkanya calon guru yang melek atas keroposnya kompetensi mereka terlihat seperti kemewahan yang ditinggalkan dengan alasan kuno, bukankah emas masih menjadi barang yang berharga meskipun ia adalah perhiasan yang digunakan berabad-abad lalu.

Barangkali juga dapat dikatakan sebuah kejahatan jika guru memberanikan diri tanpa persiapan untuk membedah jantung pasien padahal ia bukan ahlinya, kemudian betapa jahatnya guru yang suatu saat mengajar untuk membedah masa depan bangsa tanpa berkeinginan menjadi ahlinya pada saat ia berstatus mahasiswa.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)